Pages

lemak



3. ANALISIS LEMAK

1. Pendahuluan
Lemak merupakan salah satu kandungan utama dalam makanan, dan penting dalam diet
karena beberapa alasan. Lemak merupakan salah satu sumber utama energi dan mengandung
lemak esensial. Namun konsumsi lemak berlebihan dapat merugikan kesehatan, misalnya
kolesterol dan lemak jenuh. Dalam berbagai makanan, komponen lemak memegang peranan
penting yang menentukan karakteristik fisik keseluruhan, seperti aroma, tekstur, rasa dan
penampilan. Karena itu sulit untuk menjadikan makanan tertentu menjadi rendah lemak (low
fat), karena jika lemak dihilangkan, salah satu karakteristik fisik menjadi hilang. Lemak juga
merupakan target untuk oksidasi, yang menyebabkan pembentukan rasa tak enak dan produk
menjadi berbahaya. 
Analisis lemak dalam makanan meliputi :
• Kadar lemak total
• Jenis lemak yang ada
• Sifat fisikokima lemak, seperti kristalisasi, titik leleh, titik asap, rheologi, densitas dan
warna
• Struktur lemak dalam makanan

2. Sifat Lemak dalam Makanan
Lemak biasanya dinyatakan sebagai komponen yang larut dalam pelarut organik (seperti eter,
heksan atau kloroform), tapi tidak larut dalam air. Senyawa yang termasuk golongan ini
meliputi triasilgliserol, diasilgliserol, monoasilgliserol, asam lemak bebas, fosfolipid, sterol,
karotenoid dan vitamin A dan D. Fraksi lemak sendiri mengandung campuran kompleks dari
berbagai jenis molekul. Namun triasilgliserol merupakan komponen utama sebagian besar
makanan, jumlahnya berkisar 90-99% dari total lemak yang ada.
Fosfolipid Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  2
Triasilgliserol merupakan ester dari tiga asam lemak dan sebuah molekul gliserol. Asam
lemak yang ditemukan di makanan bervariasi panjang rantainya, derajat ketidakjenuhannya
dan posisinya pada molekul gliserol. Akibatnya fraksi triasilgliserol sendiri mengandung
campuran kompleks dari berbagai jenis molekul yang berbeda. Masing-masing jenis lemak
mempunyai profil lemak yang berbeda yang menentukan sifat fisikokimia dan nutrisinya.
Istilah lemak, minyak dan lipid sering digunakan secara berbeda oleh ahli makanan.
Umumnya yang dimaksud lemak adalah lipid yang padat, sedangkan minyak adalah lipid
yang cair pada suhu tertentu.

3. Pemilihan dan Persiapan Sampel
Validitas hasil analisis tergantung sampling yang baik dan persiapan sampel sebelum
dilakukan analisis. Idealnya komposisi sampel yang dianalisis harus mendekati sama dengan Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  3
kondisi makanan saat sampel diambil. Preparasi sampel pada analisis lemak tergantung pada
jenis makanan yang dianalisis (contoh daging, susu, kue dan krim), sifat komponen lemak
(seperti volatilitas, peluang oksidasi, kondisi fisik) dan jenis prosedur analisis yang
digunakan (seperti ekstraksi solven, ekstraksi non-solven, instrumentasi). Untuk menentukan
prosedur preparasi sampel, perlu diketahui struktur fisik dan lokasi lemak penting dalam
makanan. Umumnya preparasi sampel harus ilakukan dalam lingkungan yang meminimalkan
perubahan spesifik terhadap lemak. Jika oksidasi menjadi masalah, penting untuk melakukan
preparasi sampel dalam atmosfer nitrogen, temperatur rendah, minim cahaya atau dengan
penambahan antioksidan. Bila kandungan lemak padat  atau struktur kristal penting, perlu
dilakukan kontrol suhu dan penanganan sampel secara khusus. 

4. Penentuan Kadar Lemak Total
4.1. Pendahuluan
Kadar lemak total dalam makanan perlu ditentukan karena:
• Faktor ekonomi
• Aspek legal (mematuhi standar/aturan pelabelan nutrisi)
• Aspek kesehatan (perkembangan makanan rendah lemak)
• Aspek kualitas (sifat makanan tergantung kadar lemak total)
• Faktor proses (kondisi proses tergantung kadar lemak total)
Karakteristik fisikokimia utama dari lemak yang digunakan untuk membedakan lemak dari
komponen lain dalam makanan adalah kelarutannya dalam pelarut organik,
ketidaktercampuran dengan air, karakteristik fisik  (densitas yang rendah dan sifat
spektroskopik.
Teknik analisis berdasarkan ketiga karakter di atas diklasifikasikan menjadi :
 (i) ekstraksi solven
 (ii) ekstraksi non-solven
 (iii) metode instrumental

4.2. Ekstraksi Solven
Fakta bahwa lemak larut dalam air, tapi tidak larut dalam air, membuat pemisahan lemak dari
komponen makanan lain yang larut air seperti protein, karbohidrat dan mineral, menjadi
mudah. Teknik ekstraksi solven merupakan metode yang paling sering digunakan untuk
isolasi lemak dan menentukan kandungan lemak dalam makanan. 
Preparasi Sampel
Preparasi sampel untuk ektraksi solven biasanya meliputi beberapa tahap: Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  4
• Pengeringan sampel. Sampel perlu dikeringkan sebelum ekstraksi solven, karena
beberapa pelarut organik tidak bisa berpenetrasi dengan baik bila ada air dalam
sampel makanan, sehingga ekstraksi menjadi tidak efisien. 
• Pengecilan ukuran partikel. Sampel kering biasanya  perlu dihaluskan sebelum
ekstraksi solven untuk menghasilkan sampel yang homogen dan meningkatkan luas
permukaan lemak. Penghalusan sering dilakukan pada suhu rendah untuk mengurangi
oksidasi lemak.
• Hidrolisis asam. Beberapa jenis makanan mengandung  lemak yang membentuk
kompleks dengan protein (lipoprotein) atau polisakarida (glikolipid). Untuk
menentukan kadar senyawa ini, perlu dilakukan pemutusan ikatan antara lemak dan
komponen non-lemak sebelum ekstraksi solven. Hidrolisis asam umumnya dilakukan
untuk melepaskan lemak terikat sehingga lebih mudah terekstraks, misalnya dengan
mendigesti sampel selama 1 jam dengan HCl 3N. 
• Pemilihan solven. Solven ideal untuk ekstraksi lemak harus mampu secara sempurna
mengesktraksi semua komponen lemak dari makanan, dan meninggalkan komponen
selain lemak. Efisiensi solven tergantung polaritas lemak yang ada. Lemak polar
(seperti glikolipid atau fosfolipid) lebih mudah larut dalam solven yang lebih polar
(alkohol) dari pada dalam solven non-polar (seperti heksan). Sebaliknya lemak nonpolar (seperti triasilgliserol) lebih mudah larut dalam solven non-polar dibanding
dalam solven polar. Fakta bahwa lemak yang berbeda  mempunyai polaritas yang
berbeda menyebabkan tidak mungkin menggunakan pelarut organik tunggal untuk
mengesktraksi semuanya. Sehingga penentuan kandungan lemak total menggunakan
ekstraksi solven tergantung pada pelarut organik yang digunakan untuk ekstraksi.
Selain pertimbangan di atas, solven juga harus murah, mempunyai titik didih rendah
(sehingga mudah dipisahkan dengan evaporasi), non-toksik dan tidak mudah terbakar. 
Pelarut yang biasa digunakan untuk penentuan kadar  lemak total dalam makanan
adalah etil eter, petroleum eter, pentan dan heksan. 
Macam-macam Ekstraksi Solven :
a. Batch Solvent Extraction
Metode ini dilakukan dengan mencampur sampel dan solven dalam wadah yang sesuai
(misalnya corong pisah). Wadah dikocok kuat, solven organik dan fase air dipisahkan (oleh
gravitasi atau dengan sentrifugasi). Fase air dihilangkan, dan konsentrasi lemak ditentukan
dengan menguapkan solven dan mengukur massa lemak yang tersisa.
 % lemak = 100 x (berat lemak / berat sampel)
Prosedur ini harus diulang beberapa kali untuk meningkatkan efisiensi proses ekstraksi. Fase
air diekstraksi kembali dengan solven baru, kemudian semua fraksi solven dikumpulkan dan
kadar lemak ditentukan dengan penimbangan setelah solven diuapkan.  Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  5
b. Semi-Continuous Solvent Extraction
Alat yang paling sering digunakan dalam metode ini  adalah soxhlet, dimana efisiensi
ekstraksi lebih baik dari pada metode  Batch Solvent Extraction. Sampel dikeringkan,
dihaluskan dan diletakkan dalam thimble berpori. Thimble diletakkan dalam alat soxhlet yang
dihubungkan dengan kondensor. Labu soxhlet dipanaskan, solven menguap, terkondensasi
dan masuk ke bejana ekstraksi yang berisi sampel, dan mengesktraksi sampel. Lemak
tertinggal di labu karena perbedaan titik didih. Pada akhir ekstraksi, solven diupakan dan
massa lemak yang tersisa ditimbang.
 
Prosedur :
1. Timbang kurang lebih 2 g  sampel, masukkan dalam timble ekstraksi. 
2. Timbang labu ekstraksi yang telah dikeringkan.
3. Masukkan eter anhidrat dalam labu didih (labu ekstraksi).
4. Rangkai alat : labu didih, labu soxhlet, kondensor.
5. Lakukan ekstraksi dengan kecepatan tetesan solven dari kondensor 5-6 tetes per detik
selama 4 jam.
6. Keringkan labu didih yang berisi ekstrak lemak di oven pada 100
C selama 30 min,
dinginkan di desikator dan timbang.
% lemak = 100 x (berat lemak / berat sampel)
c. Continuous Solvent Extraction
Metode Goldfish merupakan metode yang mirip dengan  metode Soxhlet kecuali labu
ekstraksinya dirancang sehingga solven hanya melewati sampel, bukan merendam sampel. Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  6
Hal ini mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi, tapi dengan kerugian bisa terjadi
“saluran solven” dimana solven akan melewati jalur tertentu dalam sampel sehingga ekstraksi
menjadi tidak efisien. Masalah ini tidak terjadi pada metode Soxhlet, karena sampel terendam
dalam solven.
d. Accelerated Solvent Extraction
Efisiensi ekstraksi solven dapat ditingkatkan dengan melakukannya pada suhu dan tekanan
tinggi. Efektivitas solven untuk ekstraksi lemak dari sampel makanan meningkat dengan
peningkatan temperatur, namun tekanan juga harus ditingkatkan untuk menjaga solven tetap
dalam keadaan cair. Hal ini akan mengurangi jumlah  pelarut yang dibutuhkan sehingga
menguntungan dari sisi lingkungan. Sudah tersedia instrumen untuk ekstraksi lemak pada
suhu dan tekanan tinggi.
e. Supercritical Fluid Extraction
Ekstraksi solven dapat dilakukan dengan alat khusus menggunakan CO2 superkritik sebagi
pelarut, yang sangat ramah lingkungan karena tidak menggunakan pelarut organik. Bila CO2
ditekan dan dipanaskan di atas temperatur kritis tertentu, akan menjadi cairan superkritik,
yang mempunyai karakteristik gas maupun cairan. Karena CO2 berbentuk gas maka mudah
berpenetrasi  ke dalam sampel dan mengekstraksi lemak, dan karena juga berbentuk cair
maka CO2 dapat melarutkan sejumlah besar lemak (terutama pada tekanan tinggi).  Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  7
Prinsip dari alat ini adalah, sampel makanan dipanaskan dalam bejana bertekanan tinggi
kemudian dicampur dengan cairan CO2 superkritik. CO2 mengekstraksi lemak dan
membentuk lapisan solven terpisah dari komponen air. Tekanan dan suhu solven kemudian
diturunkan menyebabkan CO2 berubah menjadi gas, sehingga menyisakan fraksi lemak.
Kandungan lemak dalam makanan dihitung dengan menimbang lemak yang terekstraksi,
dibandingkan dengan berat sampel. 

4.3. Metode Ekstraksi Cair Nonsolven
Sejumlah ekstraksi cair tidak menggunakan pelarut organik untuk memisahkan lemak dari
bahan lain dalam makanan, contohnya dengan metode Babcock, Gerber dan Deterjen, yang
sering digunakan untuk menentukan kadar lemak dalam susu dan produk olahan (dairy
product).  
Metode Babcock 
Sejumlah sampel susu dipipet secara akurat ke dalam botol Babcock. Asam sulfat dicampur
dengan susu, yang akan mendigesti protein, menghasilkan panas dan merusak lapisan yang
mengelilingin droplet lemak, sehingga melepaskan lemak. Sampel kemudian disentrifuse saat
masih panas (55-60
o
C) yang akan menyebabkan lemak cair naik ke leher botol. Leher botol
telah diberi skala yang menunjukkan persen lemak. Metode ini membutuhkan waktu 45
menit, dengan presisi hingga 0,1%. Metode ini tidak menentukan kadar fosfolipid dalam
susu, karena berada di fase air atau di antara fase lemak dan air. 
 
               Susu   krim        keju
Metode Gerber 
Metode ini mirip dengan metode Babcock, tapi menggunakan asam sulfat dan isoamil
alkohol, dengan bentuk botol yang sedikit berbeda. Metode ini lebih cepat dan sederhana
dibanding metode Babcock. Isoamil alkohol digunakan untuk mencegah pengarangan gula
karena panas dan asam sulfat, yang pada metode Babcock menyebabkan sulitnya pembacaan
skala. Sama seperti metode Babcock, metode ini tidak menentukan posfolipid.  Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  8
Metode deterjen
Sampel dicampur dengan kombinasi surfaktan dalam botol Babcock. Surfaktan akan
menggantikan membran yang menyelubungi droplet emulsi dalam sampel susu,
menyebabkan lemak terpisah. Sampel disentrifugasi sehingga lemak akan berada di leher
botol sehingga kadar bisa ditentukan.
4.4. Metode Instrumentasi
Ada banyak metode instrumen tersedia untuk penentuan kadar lemak total dalam makanan.
Berdasarkan prinsip fisikokimianya, metode-metode ini dikategorikan berdasarkan 3 prinsip
yaitu : (i) penentuan sifat fisik, (ii) pengukuran  kemampuan absorpsi radiasi gelombang
elektromagnetik, dan (iii) pengukuran kemampuan memantulkan radiasi gelombang
elektromagnetik. Masing-masing metode mempunyai keuntungan dan kerugian, serta
kelompok sampel makanan yang memungkinkan untuk diuji. 
  Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  9

5. Penentuan Karakteristik atau Sifat Kimia Lemak
5.1. Bilangan Iodium
Bilangan iodium merupakan ukuran derajat ketidakjenuhan, menunjukkan jumlah ikatan
rangkap C=C dalam sejumlah lemak atau minyak. Bilangan iodium dinyatakan sebagai gram
iodium yang diserap per 100 g sampel. Semakin tinggi derajat ketidakjenuhan, semakin
banyak iodium terserap dan semakin tinggi nilai bilangan iodium. 
Prosedur :
Sejumlah lemak atau minyak yang sudah dilarutkan dalam solven, direaksikan dengan
sejumlah iodium (bisa digunakan I2, ICl atau IBr). Adisi halogen pada ikatan rangkap terjadi
sesuai persamaan [3]. Kalau digunakan ICl atau IBr, larutan KI ditambahkan untuk
mereduksi sisa ICl menjadi iodium (I2) bebas (persamaan [4]).  Iodium yang terlepas dititrasi
dengan Natrium tiosulfat standar menggunakan indikator amylum (persamaan [5]), dan
bilangan iodium dihitung dengan persamaan [6]
Dimana :
5.2. Bilangan Penyabunan
Penyabunan adalah proses pemutusan lemak netral menjadi gliserol dan asam lemak dengan
adanya alkali (persamaan 8).  Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  10
Bilangan penyabunan merupakan jumlah basa yang diperlukan untuk menyabunkan sejumlah
lemak atau minyak, dinyatakan sebagai miligram KOH yang dibutuhan untuk menyabunkan
1 gram sampel. 
Bilangan penyabunan merupakan indeks rata-rata berat molekul triasilgliserol dalam sampel. 
Semakin kecil bilangan saponifikasi, semakin panjang rata-rata rantai asam lemak. 
Dimana :
Prosedur :
Larutan alkoholik kalium hidroksida berlebih ditambahkan ke dalam sampel dan larutan
dipanaskan untuk menyabunkan lemak. KOH yang tidak  bereaksi dititrasi dengan HCl
standar menggunakan indikator fenol ftalein, dan bilangan penyabunan dihitung dengan
persamaan [9].
  Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  11
5.3. Bilangan Asam
Pengukuran keasaman suatu lemak menunjukkan jumlah asam lemak yang dihidrolisis dari
triasilgliserol [persamaan 11]. Asam lemak adalah persentase bobot dari asam lemak tertentu
(misalkan persen asam oleat). 
Bilangan asam didefinisikan sebagai mg KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam
lemak yang ada di 1 g lemak atau minyak. 
Bilangan asam sering digunakan sebagai indikator kualitas untuk minyak goreng, dengan
nilai batas adalah 2 mg KOH/ g minyak. 
Prosedur :
Pada sampel lemak cair, ditambahkan etanol 95% netral dan indikator pp. Sampel kemudian
dititrasi dengan NaOH dan persen asam lemak bebas dihitung dengan persamaan [13].
Di mana : Dr.RH : Analisis Makanan_3. Analisis Lemak  12
5.4. Bilangan Peroksida
Bilangan peroksida didefinisikan sebagai miliequivalen (mEq) peroksida per kg sampel.
Bilangan peroksida ditentukan dengan titrasi redoks. Diasumsikan bahwa senyawa yang
bereaksi di bawah kondisi uji adalah peroksida atau produk sejenis dari oksidasi lipid. 
Prosedur :
Lemak atau sampel minyak dilarutkan dalam asam asetat glasial-isooktan (3:2). Dengan
penambahan kalium iodida berlebih (yang akan bereaksi dengan peroksida), akan diproduksi
iodium [persamaan 14]. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan Na thiosulfat standar
dengan indikator amilum. Bilangan peroksida dihitung dengan persamaan [15].
Dimana :
Aplikasi :
Bilangan peroksida mengukur produk transisi dari oksidasi (setelah terbentuk, peroksida dan
hidroperoksida berubah jadi produk lain). Nilai yang rendah menunjukkan awal maupun
oksidasi lanjut, yang bisa dibedakan dengan mengukur bilangan peroksida dari waktu ke
waktu atau dengan mengukur produk oksidasi sekunder. 
Untuk penentuan dalam sampel makanan, kerugian dari metode ini adalah sampel yang
digunakan sekitar 5 g, sehingga sulit mendapat jumlah yang cukup bila sampel akann rendah
lemak. 
Makanan berkualitas baik, lemak dan minyak yang berbau segar akan mempunyai bilangan
peroksida nol atau mendekati nol. Bilangan peroksida >20 menunjukkan kualitas minyak atau
lemak yang sangat buruk, biasanya teridentifikasi dari bau yang tidak enak. Untuk minyak
kedelai, bilangan peroksida 1-5, 5-10 dan >10 menunjukkan berturut-turut tingkat oksidasi
rendah, sedang dan tinggi. 




GULA REDUKSI




2.1. Karbohidrat
Kebanyakan ahli kimia kesulitan dalam mengelompokkan bahan apa saja yang termasuk ke
dalam karbohidrat. Definisi klasik karbohidrat berdasarkan asal katanya yaitu carbo dari bahasa
Latin dan hydros dari bahasa Yunani adalah ‘hidrat dari karbon’ yang mengandung hidrogen dan
oksigen dengan perbandingan 2:1 (Southgate 1978) atau elemen yang terdiri dari air dan karbon
dengan perbandingan 1:1 (Kennedy dan White 1988). Karbohidrat adalah senyawa organik yang
mengandung karbon, hidrogen dan oksigen baik dalam bentuk molekul sederhana maupun
kompleks (Christian dan Vaclavik 2003).
Karbohidrat telah menjadi sumber energi utama untuk metabolisme pada manusia dan sarana
untuk memelihara kesehatan saluran pencernaaan manusia. Karbohidrat adalah penyumbang
utama dari komponen yang membentuk produk pangan baik sebagai komponen alami maupun
bahan yang ditambahkan. Karbohidrat meliputi lebih dari 90% dari berat kering tanaman.
Karbohidrat banyak tersedia dan murah. Penggunaannya sangat luas dan jumlah penggunaannya
cukup besar (Fennema 1996) baik untuk pemanis, pengental, penstabil, gelling agents dan fat
replacer (Christian dan Vaclavik 2003). Karbohidrat dapat dimodifikasi baik secara kimia dan
biokimia dan modifikasi itu digunakan untuk memperbaiki sifat dan memperluas penggunaannya.
2.1.1 Struktur karbohidrat
Karbohidrat digunakan dalam kimia untuk senyawa dengan formula Cm(H2O)n, tetapi kini
rumus molekul itu tidak secara kaku digunakan untuk mendefinisikan karbohidrat (Kennedy dan
White 1988). Sebelumnya beberapa ahli kimia memasukkan formaldehid dan glikoaldehid sebagai
karbohidrat, namun sekarang istilah karbohidrat dalam biokimia, tidak mengikutsertakan senyawa
yang kurang dari tiga atom karbon. Southgate (1978) menggunakan definisi karbohidrat sebagai
senyawa yang tersusun oleh polihidroksi aldehid, keton, alkohol, asam dan turunan sederhananya
serta polimernya yang memiliki ikatan polimer tipe asetal.
Menurut strukturnya karbohidrat dapat dibagi menjadi kelompok sakarida: monosakarida,
oligosakarida dan polisakarida. Monosakarida adalah gula sederhana yang tidak dapat dipecah lagi
menjadi molekul yang lebih kecil dan monosakarida inilah yang menjadi unit penyusun dari
oligosakarida dan polisakarida. Oligosakarida dan polisakarida tersusun dari monosakarida yang
dihubungkan dengan ikatan glikosidik.
5
2.1.2. Monosakarida
Monosakarida terdiri dari tiga sampai delapan karbon atom, tetapi umumnya hanya lima atau
enam yang biasa ditemukan. Biasanya monosakarida digolongkan berdasarkan jumlah atom
karbonnya, misalnya triosa (C3H6O3), tetrosa (C4H8O3), pentosa (C5H10O5) dan heksosa (C6H12O6).
Dari golongan tersebut dapat dibagi lagi berdasarkan gugus fungsional yang ada, misalnya dari
golongan heksosa ada aminoheksosa (C6H13O5N), deoksiheksosa (C6H12O5) dan asam heksuronat
(C6H10O7). Contoh monosakarida adalah glukosa dan fruktosa.
2.1.3. Oligosakarida
Oligosakarida terdiri dari beberapa monosakarida (2-10) yang saling terikat oleh ikatan
glikosidik. Tetapi ada juga yang mengklasifikasikan sendiri karbohidrat dengan dua gugus gula
sebagai disakarida. Menurut Christian dan Vaclavik (2003) disakarida terdiri dari dua molekul
monosakarida yang bergabung dengan ikatan glikosidik. Contoh disakarida di pangan adalah
maltosa, selubiosa, dan sukrosa. Oligosakarida yang memiliki lebih dari tiga gugus gula contohnya
adalah rafinosa dan stakiosa.
2.1.4. Polisakarida
Polisakarida merupakan polimer dari gula sederhana yang tersusun atas lebih dari sepuluh
monomer gula sederhana. Contoh polisakarida di makanan adalah pati, pektin dan gum. Ketiganya
adalah polimer karbohidrat kompleks dengan sifat yang berbeda, tergantung unit gula
penyusunnya, tipe ikatan glikosidik dan derajat percabangan molekul.
2.2. Pentingnya Analisis Total Karbohidrat
Total karbohidrat yang ada dalam bahan pangan perlu diketahui dengan alasan: standards of
identity (pangan harus memiliki komposisi yang sesuai dengan regulasi pemerintah); nutritional
labelling (menginformasi konsumen mengenai kadar nutrisi dalam bahan pangan); detection of
adulteration (tiap tipe pangan memiliki 'fingerprint' karbohidrat); food quality (sifat fisikokimia
dari pangan seperti kemanisan, penampakan, stabilitas dan tekstur tergantung tipe dan stabilitas
karbohidrat yang ada); ekonomi (agar lebih dapat menghemat biaya produksi bahan yang
digunakan pada industri) dan food processing (efisiensi dari proses pangan banyak tergantung
pada jenis dan kadar karbohidrat). Dalam berbagai studi mengenai bahan makanan penting untuk
mengetahui persentasi kadar karbohidrat pada pangan yang diujikan sehingga nilai karbohidrat
pada bahan lain dapat dikonversi menjadi nilai total pangan.
6
2.3. Total Karbohidrat dalam Bahan Pangan dan Metode Analisisnya
2.3.1. Definisi total karbohidrat
Total karbohidrat atau total karbohidrat menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(2005) meliputi gula, pati, serat pangan dan komponen karbohidrat lain. Pernyataan jumlah total
karbohidrat dalam gram penyajian yang dinyatakan dengan nilai gram terdekat, jika penyajian
kurang dari 0,5 gram, jumlah kadarnya dapat dinyatakan sebagai nol dan jika penyajian lebih dari
0,5 gram dibulatkan ke kelipatan 1 gram terdekat. Total karbohidrat dapat dinyatakan dengan total
karbohidrat by difference.
Total karbohidrat dalam pengukuran karbohidrat dengan metode langsung dinyatakan dalam
bentuk persen yang setara dengan glukosa. Satuan glukosa (glucose equivalent) juga dapat diganti
dengan larutan gula lain yang dijadikan sebagai larutan standar.
2.3.2. Metode analisis total karbohidrat
Sejumlah teknik analisis telah dikembangkan untuk mengukur jumlah dan tipe karbohidrat
yang ada di bahan pangan. Kadar karbohidrat di bahan pangan dapat diketahui dengan menghitung
persentase yang tersisa setelah semua komponen lain telah diukur (total carbohydrate by
difference), yaitu dengan persamaan (1.1) (SNI 01-2891-1992):
(1.1)
Metode by difference ini masih digunakan oleh FDA, tetapi metode ini dapat menghasilkan
nilai yang salah karena ada kemungkinan terjadi akumulasi kesalahan dari metode-metode yang
digunakan untuk mengukur komponen lain, dan kemungkinan adanya komponen non karbohidrat
yang terukur sebagai karbohidrat menyebabkan penyimpangan yang lebih besar. Pengukuran kadar
karbohidrat secara langsung lebih baik karena didapat hasil lebih yang akurat.
2.3.2.1. Analisis karbohidrat langsung
Metode yang telah dikembangkan untuk analisis karbohidrat sangat banyak, dan tergantung
juga oleh jenis analisis (kuantitatif atau kualitatif) dan tipe karbohidrat yang dianalisis. Sehingga
metode pengukuran karbohidrat sangat beragam mulai dari metode kromatografi dan elektroforesis
(Kromatografi Lapis Tipis, Kromatografi Likuid Kinerja Tinggi dan Kromatografi Gas); metode
kimia (metode titrasi Lane Eynon, metode gravimetri Munson Walker, metode Luff Schoorl,
metode kolorimetri seperti anthrone sulfat dan fenol sulfat); metode enzimatis; metode fisik
(polarimetri, indeks refraktif, densitas dan infra merah) serta metode immunoassay.
7
Uji karbohidrat yang resmi ditetapkan oleh BSN dalam SNI 01-2891-1992 yaitu analisis total
karbohidrat dengan menggunakan metode Luff Schoorl. Pada tahun 1936 International
Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis mempertimbangkan Metode Luff-Schoorl
sebagai salah satu metode yang digunakan untuk menstandarkan analisis gula pereduksi karena
metode Luff Schoorl saat itu menjadi metode yang resmi dipakai di pulau Jawa, di samping
nominator lainnya yaitu metode Lane-Eynon. Tetapi pada saat itu metode kolorimetri belum
banyak berkembang dan dalam catatan komisi itu terdapat agenda untuk melakukan penyeragaman
analisis gula dengan metode kolorimetri.
Berikut ini adalah beberapa jenis analisis total karbohidrat langsung:
2.3.2.1.1. Analisis total karbohidrat dalam SNI 01-2891-1992
Seluruh senyawa karbohidrat yang ada dipecah menjadi gula-gula sederhana (monosakarida)
dengan bantuan asam yaitu HCl dan panas. Monosakarida yang terbentuk kemudian dianalisis
dengan Metode Luff-Schoorl. Prinsip analisis dengan Metode Luff-Schoorl yaitu reduksi Cu2+
menjadi Cu 1+ oleh monosakarida. Monosakarida bebas akan mereduksi larutan basa dari garam
logam menjadi bentuk oksida atau bentuk bebasnya. Kelebihan Cu2+ yang tidak tereduksi
kemudian dikuantifikasi dengan titrasi iodometri (SNI 01-2891-1992).
Reaksi yang terjadi (1.2):
Karbohidrat kompleks → gula sederhana (gula pereduksi)
Gula pereduksi+ 2 Cu2+→ Cu2O(s)
2 Cu2+ (kelebihan) + 4 I-→ 2 CuI2 → 2 CuI- + I2
I2 + 2S2O3
2-→ 2 I- + S4O6
2-
(1.2)
Osborne dan Voogt (1978) mengatakan bahwa Metode Luff-Schoorl dapat diaplikasikan untuk
produk pangan yang mengandung gula dengan bobot molekuler yang rendah dan pati alami atau
modifikasi.
Kemampuan mereduksi dari gugus aldehid dan keton digunakan sebagai landasan dalam
mengkuantitasi gula sederhana yang terbentuk. Tetapi reaksi reduksi antara gula dan tembaga
sulfat sepertinya tidak stoikiometris dan sangat tergantung pada kondisi reaksi. Faktor utama yang
mempengaruhi reaksi adalah waktu pemanasan dan kekuatan reagen. Penggunaan luas dari metode
ini dalam analisis gula adalah berkat kesabaran para ahli kimia yang memeriksa sifat empiris dari
reaksi dan oleh karena itu dapat menghasilkan reaksi yang reprodusibel dan akurat (Southgate
1976).
8
2.3.2.1.2. Analisis total karbohidrat dengan Metode Anthrone sulfat
Penggunaan Metode Anthrone untuk analisis total karbohidrat mulai berkembang sejak
penggunaan pertama kali oleh Dreywood pada tahun 1946 untuk uji kualitatif. Dasar dari reaksi ini
adalah kemampuan karbohidrat untuk membentuk turunan furfural dengan keberadaan asam dan
panas, yang kemudian diikuti dengan reaksi dengan anthrone yang menghasilkan warna biru
kehijauan (Sattler dan Zerban 1948) dalam Brooks et al (1986).
Anthrone, C6H4COC6H4CH2, adalah turunan dari anthraquinone. Senyawa ini diproduksi
oleh reduksi katalitik dari anthraquinone oleh asam hidroklorat dengan keberadaan logam timah.
Senyawa ini mungkin ada dalam bentuk keto atau enol, yang masing-masing dikenal dengan nama
anthrone and anthranol. Reaksinya dapat dilihat pada persamaan (1.3):
(1.3)
Mekanisme pembentukan warna anthrone dengan gula telah diteliti. Hurd dan Isenhour
(1932) dan Wolfrom et al (1948) mempostulasikan bahwa karbohidrat dan turunannya mengalami
pembentukan cincin dalam keberadaan asam kuat dari mineral, seperti yang ditunjukkan untuk
glukosa (1.4):
(1.4)
Tiap tahap adalah pemecahan dari glukosa(I) menjadi 5-(hydroxymethyl)-2-furaldehyde(IV)
menunjukkan dehidrasi baik pada double bond atau pembentukan cincin. Wolfrom et al. (1948)
menunjukkan bukti spektroskopik untuk senyawa intermediate (II) dan (III) pada reaksi ini Sattler
9
and Zerban (1948) menyarankan bahwa pembentukan warna hijau pada reaksi anthrone tergantung
oleh keberadaan 5-(hidroksimetil)-2-furaldehid, atau senyawa furfural yang mirip, yang dibentuk
oleh reaksi asam sulfat pada karbohidrat.
Momose et al. (1957) melakukan kromatografi pada ekstrak benzene dari pewarna terhadap
alumina dan menunjukkan bahwa bagian yang dapat larut dari benzene-terdiri dari beberapa
pewarna yang memberikan pewarnaan yang berbeda dengan asam sulfat. Mereka menentukan
berat molekul dari salah satu pewarna utama yaitu kurang lebih 530, dan mempostulasikan
formula dari pewarna itu (C47H30O3). Mereka menyimpulkan bahwa 3 mol anthrone bereaksi
dengan 1 mol glukosa, yang digambarkan dalam persamaan (1.5):
3C14H10O + C6H12O6  C47H3O30 + 5H2O + CH2O (1.5)
Dari data analisis dan spektrum inframerah dari pewarna, dan mekanisme reaksinya
dipertimbangkan, mereka menduga struktur yang mungkin adalah 1,2,5,- atau
1,3,5,-trianthronylidenepentane.
Ludwig dan Goldberg (1956) melaporkan adaptasi dari Metode Anthrone kolorimetri untuk
analisis total karbohidrat secara kuantitatif pada pangan. Metode yang digunakan relatif cepat dan
akurat serta lebih baik daripada metodologi analisis karbohidrat sebelumnya, yaitu metode
Somogyi-Shaffer-Hartmann yang menggunakan teknik teknik iodometri dan prinsip gula
pereduksi. Mereka menunjukkan bahwa persiapan hidrolisis dan deproteinisasi tidak perlu
dilakukan ketika teknik anthrone digunakan.
Uji Anthrone ini memiliki kelebihan dalam hal sensitifitas dan kesederhanaan ujinya
(Koehler 1952).Sejumlah kecil karbohidrat dapat memberikan warna yang terdeteksi dengan
menggunakan spektrofotometer. Dreywood (1946) melakukan uji spesifisitas dari reaksi dan
membuat daftar 18 jenis karbohidrat, termasuk beberapa turunan selulosa, yang memberikan hasil
positif. Dia juga melaporkan hasil negatif terhadap kelompok besar nonkarbohidrat, termasuk
sejumlah resin sintetik nonselulosa, asam organik, aldehid, fenol, lemak, terpena, alkaloid, dan
protein. Nonkarbohidrat yang menunjukkan hasil positif hanya furfural, tetapi hasil positif ini
cepat menghilang karena warna hijau dikaburkan oleh presipitat coklat. Morris (1948) juga
menunjukkan spesifisitas anthrone untuk karbohidrat sangat tinggi, dan dia melaporkan reaksi
positif untuk semua mono-, di-, dan polisakarida murni yang diujikan, juga sampel of dekstrin,
dekstran, pati, polisakarida tumbuhan dan gum, polisakarida tipe II dan II dari pneumococcus,
glukosida, dan senyawa asetat dari mono-, di-, dan polisakarida.
10
Kekurangan dari Metode Anthrone adalah ketidakstabilan dari reagen (anthrone yang
dilarutkan dalam asam sulfat), sehingga perlu dilakukan persiapan reagen yang baru setiap hari.
Dreywood (1946) memperhatikan bahwa panas yang dihasilkan oleh pelarutan asam sulfat
merupakan bagian yang penting dalam uji. Morris (1948) melihat signifikansi dari panas pada
reaksi anthrone dan menunjukkan bahwa pada sejumlah karbohidrat yang diberikan, intensitas
warna bervariasi dengan jumlah panas yang dihasilkan. Oleh karena itu kurva standar juga perlu
dibuat setiap hari.
Nilai total karbohidrat tidak dapat dinyatakan dalam persen karbohidrat, tetapi lebih baik
dinyatakan dengan istilah glucose equivalents per cent, karena kepekatan warna yang dihasilkan
dari reaksi anthrone bervariasi dengan tipe gula yang ada. Kepekatan warna yang sama contohnya,
ditunjukkan oleh 100 μg. glukosa, 105 μg. maltosa, dan 111 μg glikogen. Gula murni lain selain
glukosa dapat dikalkulasi dengan faktor konversi. Tetapi jika terdapat campuran karbohidrat yang
tidak diketahui pada bahan pangan faktor konversi itu tidak dapat digunakan, dan hasilnya bukan
persentase karbohidrat absolut, melainkan ekuivalen glukosa, yang dapat bervariasi dari nilai
persentasi karbohidrat yang sebenarnya dengan jumlah yang tidak dapat ditentukan. Keganjilan ini
tidak signifikan ketika nilai glucose equivalents per cent digunakan hanya sebagai basis untuk
mengkonversi nilai total karbohidrat menjadi nilai total pangan (Beck dan Bibby 1961). Untuk
tujuan ini glucose equivalents per cent hanya sebagai indeks dari persentasi absolute dari
masing-masing karbohidrat dalam pangan.
2.4. Validasi dan Verifikasi Metode
Metode analisis memiliki beberapa atribut, seperti ketepatan, ketelitian, spesifisitas,
sensitivitas, kemandirian, dan kepraktisan, yang harus dipertimbangkan ketika akan digunakan
(Garfield et al. 2000). Informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan harus seimbang
dengan pertimbangan praktis seperti biaya, waktu, risiko, kesalahan, dan tingkat keahlian yang
diperlukan. Selain itu suatu laboratorium yang akan menerapkan suatu metode perlu
mempertimbangkan apakah data validasi yang ada mengenai metode tersebut cukup memadai atau
apakah masih membutuhkan tindakan validasi ulang sebelum metode itu digunakan. Selanjutnya
jika data validasi telah cukup memadai, laboratorium perlu mengetahui apakah level performa
yang ditunjukkan oleh data validasi tersebut mampu dilaksanakan. Untuk mencapai level performa
itu dibutuhkan analis yang kompeten serta peralatan dan fasilitas yang memadai (Jelita 2011).
Data validasi yang kurang memadai biasanya ada pada metode yang baru dikembangkan baik
oleh laboratorium itu sendiri atau yang dikembangkan oleh pihak lain; metode yang digunakan
11
oleh laboratorium lain atau metode yang telah dipublikasi tetapi belum menjadi metode baku.
Ketika data validasi yang ada telah memadai, yaitu seperti pada metode yang telah divalidasi oleh
organisasi terstandarisasi seperti AOAC (Association of Official Analytical Chemists)
Internasional, laboratorium umumnya hanya menjaga performa data dengan cara melakukan
verifikasi metode.
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu,
berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi
persyaratan untuk penggunaannya (Harmita, 2004). Berdasarkan Harvey (2000), validasi
merupakan suatu proses evaluasi kecermatan dan keseksamaan yang dihasilkan oleh suatu
prosedur dengan nilai yang dapat diterima. Sebagai tambahan, validasi memastikan bahwa suatu
prosedur tertulis memiliki detail yang cukup jelas sehingga dapat dilaksanakan oleh analis atau
laboratorium yang berbeda dengan hasil yang sebanding. Menurut AOAC (2002) validasi metode
menunjukkan apakah suatu metode sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Dalam praktiknya,
memungkinkan untuk merancang percobaan yang akan dilakukan sehingga karakteristik validasi
yang sesuai dapat diterapkan untuk mendapatkan hasil yang cukup dan menyeluruh mengenai
kemampuan suatu prosedur analisis, seperti: spesifisitas, linearitas, rentang, akurasi (kecermatan),
dan presisi (keseksamaan) (EMA, 1995).
Verifikasi metode adalah suatu tindakan validasi metode tetapi hanya pada beberapa beberapa
karakteristik performa saja. Laboratorium harus menentukan karakteristik performa yang
dibutuhkan. Spesifikasi analisis dapat menjadi acuan untuk merancang proses verifikasi.
Rancangan yang baik akan menghasilkan informasi yang dibutuhkan serta meminimalisir tenaga,
waktu, serta biaya. Pemilihan parameter validasi atau verifikasi tergantung pada beberapa faktor
seperti aplikasi, sampel uji, tujuan metode, dan peraturan lokal atau internasional.
Adapun beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi metode
analisis :
2.4.1. Akurasi
Akurasi atau kecermatan adalah seberapa dekat suatu hasil pengukuran kepada nilai
sebenarnya. Terkadang masalah dalam menentukan akurasi adalah ketidaktahuan terhadap nilai
yang sebenarnya. Dalam beberapa tipe sampel kita dapat menggunakan sampel yang telah
diketahui nilainya dan mengecek metode pengukuran yang kita gunakan untuk menganalisis
sampel itu sehingga kita mengetahui akurasi dari prosedur yang diujikan, metode ini disebut
dengan CRM (Certified Reference Method). Pendekatan lain adalah dengan membandingkan
12
hasilnya dengan hasil yang dilakukan oleh lab lain (Smith, 2010) atau dengan menggunakan
metode referen (Walton 2001). Akurasi juga dapat diketahui dengan melakukan uji rekoveri
(Walton 2001). Hasil uji ini akurasi dapat dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery)
analat yang ditambahkan pada sampel. Sampel ditambahkan (spiking) dengan standar yang telah
diketahui jumlah dan kadarnya (EMA, 1995). Rentang nilai penerimaan kecermatan suatu metode
akan bervariasi sesuai kebutuhannya (FAO, 1998). Adapun AOAC menetapkannya seperti dalam
Tabel 1.
Tabel 1 Persentase rekoveri yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analat
(%) analat Unit Rata-rata rekoveri (%)
100 100% 98-102
10 10% 95-102
1 1% 97-103
0.1 0.10% 95-105
0.01 100 ppm 90-107
0.001 10 ppm 80-110
0.0001 1 ppm 80-110
0.00001 100 ppb 80-110
0.000001 10 ppb 60-115
0.0000001 1 ppb 40-120
(sumber: AOAC 2002)
2.4.2. Presisi
Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur
melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada
sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2004). Presisi dapat dibagi
dalam dua kategori: keterulangan atau ripitabilitas (repeatability) dan ketertiruan (reproducibility).
Ripitabilitas adalah nilai presisi yang diperoleh jika seluruh pengukuran dihasilkan oleh satu orang
analis dalam satu periode tertentu, menggunakan pereaksi dan peralatan yang sama dalam
laboratorium yang sama. Ketertiruan adalah nilai presisi yang dihasilkan pada kondisi yang
berbeda, termasuk analis yang berbeda, atau periode dan laboratorium yang berbeda dengan analis
yang sama. Karena ketertiruan dapat memperbanyak sumber variasi, ketertiruan dari analisis tidak
akan lebih baik hasilnya dari nilai keterulangan (Harvey, 2000).
13
Presisi dalam hal ripitabilitas diukur dengan menghitung relative standard deviation atau
simpangan baku relatif (RSD) dari beberapa ulangan dengan menggunakan rumus (1.6):
(1.6)
Standar deviasi ripitabilitas bervariasi tergantung pada konsentrasi (AOAC 2002). Oleh karena itu
hasil yang didapat dari perhitungan dibandingkan hasilnya dengan nilai yang ada di Tabel 2.
Tabel 2 Nilai presisi (RSD) sesuai dengan konsentrasi analat
(%) analat Konsentrasi RSD (%)
100 100% 1
10 10% 1.5
1 1% 2
0.1 0.10% 3
0.01 100 ppm 4
0.001 10 ppm 6
0.0001 1 ppm 8
0.00001 10 ppb 15
(sumber: AOAC 2002)
Nilai yang didapat juga dapat dibandingkan atau dengan menggunakan rumus (1.7):
(1.7)
dengan C adalah konsentrasi yang didapat dari rataan.
Nilai yang dapat diterima untuk ripitabilitas adalah antara 1/2 dan 2 kali dari nilai yang dijadikan
sebagai pembanding. Ada juga yang menggunakan RSD Horwitz sebagai nilai pembanding, RSD
Horwitz dihitung dengan rumus (1.8):
(1.8)
Dengan menggunakan pembanding RSD Horwitz nilai yang dapat diterima untuk ripitabilitas
adalah RSD yang terhitung dari ulangan yang ada harus kurang dari 2/3 dari nilai RSD Horwitz
(Garfield 2000).
14
2.4.3. Spesifisitas
Spesifisitas dari metode analitik tertentu berarti metode itu hanya mendeteksi komponen yang
diinginkan. Metode analitis dapat bersifat sangat spesifik untuk komponen tertentu atau pada
beberapa kasus dapat menganalisis spektrum komponen yang luas (Smith, 2010).
Spesifisitas suatu metode diuji dengan membandingkan hasil dari sampel yang mengandung
pengotor dengan hasil sampel yang tidak mengandung pengotor. Pada dasarnya, spesifisitas dapat
diuji secara langsung atau tidak langsung. Pendekatan secara tidak langsung ditinjau dari
penerimaan parameter akurasi. Pendekatan secara langsung ditinjau dari keberadaan komponen
pengganggu (Ermer dalam Ermer dan Miller, 2005). Cara yang terakhir dilakukan dengan
menambahkan sejumlah tertentu komponen pengganggu pada larutan standar murni. Jika
diperkirakan tidak adanya komponen pengganggu pada sampel, spesifisitas dapat ditunjukkan
dengan membandingkan hasil uji sampel dengan standar (EMA, 1995).
2.4.4. Limit Deteksi dan Limit Kuantitasi
Limit deteksi atau Limit of Detection (LOD) suatu metode analisis adalah jumlah terkecil dari
analat yang dapat dideteksi namun jumlah ini belum tentu dapat dikuantisasi dengan presisi yang
baik oleh metode tersebut. Limit kuantitasi atau Limit of Quantitation (LOQ) yang disebut juga
limit determinasi adalah konsentrasi terendah dari analat yang dapat ditentukan secara kuantitatif
dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima (Ermer dalam Ermer dan Miller, 2005).
Giese (2004) menyatakan bahwa terdapat dua cara untuk menentukan LOD dan LOQ, yaitu
dengan menentukan kurva kalibrasi menggunakan sepuluh level konsentrasi, atau melakukan
analisis blanko berulang. Tetapi ada masalah dalam pendekatan menggunakan blanko karena
seringkali sulit diukur dan variasinya sangat tinggi. Lebih lanjut, nilai yang didapat dengan
pendekatan seperti ini tidak bergantung dari analat (AOAC 2002).
Limit deteksi hanya berguna untuk mengontrol ketidakmurnian yang tidak diinginkan yang
konsentrasinya harus tidak lebih dari level tertentu dan mengontrol kontaminan dengan konsentrasi
rendah, sedangkan materi yang bermanfaat harus ada pada konsentrasi yang cukup tinggi agar
dapat menjadi fungsional. Limit deteksi dan determinasi seringkali bergantung pada kemampuan
instrumen (AOAC 2002).
2.4.5. Linieritas
Linearitas metode analisis menunjukkan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil
uji, yang baik langsung maupun dengan definisi transformasi matematis yang baik, proporsional
15
dengan konsentrasi analat dalam sampel pada range tertentu (Leyva et al 2008). Linieritas dapat
diuji secara informal dengan membuat plot residual yang dihasilkan oleh regresi linier pada respon
konsentrasi dalam satu seri kalibrasi (Thompson et al. 2002).
Linieritas harus dievaluasi dengan pemeriksaan visual terhadap plot absorbansi yang
merupakan fungsi dari konsentrasi analat. Jika hubungannya linier, hasil uji dievaluasi lebih lanjut
secara statistik dengan perhitungan garis regresi. Dalam penentuan linieritas, sebaiknya
menggunakan minimum lima konsentrasi (EMA, 1995). Rentang penerimaan linieritas tergantung
dari tujuan pengujian. Pada kondisi yang umum, nilai koefisien regresi (r2) ≥ 0,99.
2.5. Matriks Sampel
Suatu metode harus dapat menunjukkan rekoveri dan ripitabilitas yang dapat diterima
pada konsentrasi dan matriks yang mewakili kelompok sampel dimana metode itu hendak
diterapkan (AOAC 2002). Suatu metode yang hendak diterapkan pada “pangan” secara umum,
metode tersebut perlu diujikan pada jenis pangan yang dianggap mewakili kelompok pangan
secara umum. Sampel yang yang dianggap mewakili dapat dipilih berdasarkan skema segitiga atau
triangle scheme yang disarankan AOAC Internasional (Gambar 1) (Sullivan dan Carpenter 1993).
Skema segitiga ini berdasarkan kadar karbohidrat, protein dan lemaknya yang mana dianggap
memiliki pengaruh terbesar terhadap kemampuan metode analisis. Suatu kelompok pangan, yang
diwakili oleh segitiga kecil, dikatakan memiliki kadar yang “tinggi”, “sedang” dan “rendah”
berdasarkan kadar karbohidrat, protein dan lemaknya. Pangan kompleks diposisikan pada salah
satu segitiga kecil—menurut kadar karbohidrat, lemak dan proteinnya (dengan persentase yang
telah dinormalisasi menurut perbandingan dari ketiga komponen). Pemetaan ini dilakukan dengan
meniadakan persentase kadar air dan kadar abu. Tiap sudut segitiga merupakan kelompok pangan
yang terdiri dari 100% lemak, 100%protein, dan 100% karbohidrat.
16
Gambar 1. Matriks pangan berdasarkan kadar protein, lemak dan karbohidrat (Nielsen 2010).
Nielsen (2010) mengatakan bahwa kemampuan suatu metode analisis dipengaruhi oleh
matriks pangan (misalnya komponen dari pangan tersebut terutama lemak, protein dan
karbohidrat). Matriks pangan merupakan tantangan terbesar bagi para analis pangan. Makanan
dengan kadar lemak tinggi dan kadar gula tinggi dapat menghasilkan interferensi yang berbeda
dengan makanan dengan kadar lemak rendah dan kadar gula rendah. Prosedur digesti dan tahap
ekstraksi sangat penting bagi hasil analisis yang akurat. Hal ini tergantung pada matriks pangan.
Kompleksitas dari berbagai sistem pangan seringkali membutuhkan lebih dari satu teknik dan
prosedur untuk komponen spesifik tertentu, termasuk pengetahuan mengenai teknik mana yang
sesuai untuk matriks pangan yang spesifik.
Metode analitik yang umum harus dapat menganalisis kesembilan kombinasi yang ada,
menggantikan metode yang spesifik pada matriks tertentu (matrix dependent method). Misalnya
dengan menggunakan metode yang dipengaruhi oleh matriks, kita mungkin dapat
menggunakannya untuk menganalisis bahan yang rendah protein, dengan karbohidrat dan lemak
sedang seperti coklat dan keripik kentang. Tetapi untuk bahan dengan protein tinggi, lemak rendah
dan karbohidrat tinggi seperti susu rendah lemak, harus digunakan metode analisis yang lain. Hal
ini cukup merepotkan dan kemungkinan nilai yang didapat dari hasil analisis kedua metode perlu
dievaluasi (Nielsen 2010).
Validasi metode memerlukan pengetahuan mengenai identitas dari sampel yang akan
dianalisis, karena jika tidak, meski banyak informasi berguna yang didapat, tetapi informasi itu
akan terombang-ambing bagaikan kapal di lautan yang luas, tidak mengetahui dimana
keberadaannya, tanpa penanda yang menunjukkan posisinya (AOAC 2002). Oleh karena itu selain
melakukan studi literatur dilakukan uji proksimat terhadap sampel yang akan dianalisis untuk
17
mengonfirmasi komposisi dari sampel. Berikut data mengenai sampel yang akan digunakan dalam
perbandingan metode:
2.5.1. Kecap manis
Kecap manis merupakan produk olahan kedelai, yang teksturnya kental dan berwarna
coklat kehitaman (Suprapti 2005). Komposisi kimia kecap manis dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi kimia kecap manis, kecap asin dan santan
Komponen
Kadar (%)
Kecap manis Kecap asin Santan
Air 29,61a 63, 84a 54,9c
Protein kasar 1,46a 6,55a 4,20b
Lemak 0,14a 0,35a 34,30b
Abu 7,64a 18,48a 1-1,3c
Karbohidrat 61,15a 10,78a 5,60b
Garam (NaCl) 6,27a 18,43a (tidak ada informasi)
Sumber: aJudoamidjojo (1987) , bDirektorat Gizi (1967), c Woodroof (1979)
Kandungan gula dan viskositas yang tinggi dari produk ini disebabkan karena penambahan gula
dalam proses pembuatannya. Komponen terbesar kecap manis adalah karbohidrat, terutama
sukrosa, glukosa dan fruktosa (Kusumadewi, 2011). Kandungan gula kecap manis, yaitu 26-61%,
lebih banyak dari kecap asin yang hanya 4-19% (Judoamidjojo 1987). Kandungan asam amino
yang cukup tinggi dari kecap manis karena salah satu bahan yang digunakan untuk membuatnya
adalah kedelai yang memiliki kandungan protein yang tinggi (Santoso 1994). Rincian jenis asam
amino kecap manis dapat dilihat pada Tabel 4.
Dalam kecap manis, selain dari kedelai senyawa organik yang ada juga berasal dari gula
merah. Senyawa organik dalam kecap manis adalah asam sitrat, tartarat, suksinat, laktat, format,
piroglutamat, propionate dan butirat (Judoamidjojo et al 1985). Kecap yang bermutu tinggi
berkadar garam 18%, gula minimal 40% dan pHnya berkisar antara 4,7-4,8 (Buckle et al 1988).
Adapun persyaratan BSN untuk kecap manis (SNI 01-2543-1999) kadar garam minimal 3% dan
total gula (dihitung sebagai sakarosa) minimal 40%.
18
Tabel 4. Kandungan asam amino kecap asin dan kecap manis (g/100g)
Asam amino Kecap Asin Kecap Manis
Asam aspartat 0,42 0,03
Treonin 0,21 0,01
Serin 0,29 0,01
Glutamat 0,63 0,10
Prolin 0,16 0,01
Glisin 0,15 0,00
Alanin 0,30 0,02
Valin 0,30 0,02
Metionin 0,08 0,00
Isoleusin 0,29 0,02
Leusin 0,41 0,02
Tirosin 0,15 0,02
Fenilalanin 0,24 0,02
Lisin 0,27 0,01
Histidin 0,09 0,00
Arginin 0,27 0,00
Triptofan 0,00 0,00
Sistein 0,00 0,00
Sumber: Judoamidjojo et al (1985)
2.5.2. Kecap kedelai asin
Kecap kedelai asin atau yang biasa dikenal dengan nama kecap asin merupakan hasil
fermentasi dari kedelai. Menurut definisi SNI 01-3543-994 kecap kedelai adalah produk cair yang
diperoleh dari hasil fermentasi dan atau cara kimia (hidrolisis) kacang kedelai (Glycine max. L)
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan.
Warna dari kecap asin adalah coklat gelap. Tetapi warna ini bergantung pada proses penuaan atau
agingnya. Kecap asin mirip dengan kecap manis, hanya tanpa penambahan gula. Komposisi kimia
dari kecap kedelai dapat dilihat dari Tabel 3 dan kandungan asam aminonya dapat dilihat pada
Tabel 4.
2.5.3. Santan
Berdasarkan SNI 01-3816-1995, santan adalah produk cair yang diperoleh dengan
menyaring daging buah kelapa (Cocos nucifera) dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan
makanan yang diizinkan. Santan merupakan emulsi lemak dalam air (Kirk dan Otmer 1950) yang
19
distabilisasi secara alamiah oleh protein (globulin dan albumin) dan fosfolipida (Tangsuphoom dan
Coupland, 2008). Senyawa δ-C8-laktone, δ-C10-laktone, dan n-oktanol merupakan komponen
volatil utama dan memberikan karakteristik aroma pada santan kelapa (Lin dan Wilkens 2006),
Adapun komposisi kimia santan dapat dilihat di Tabel 3. Tetapi komposisi kimianya
masih bervariasi tergantung pada varietas lokasi tumbuh, cara budi daya, kematangan buah, dan
metode ekstraksi seperti jumlah penambahan air dan suhu ekstraksi. Menurut Seow dan Gwee
(1997), komposisi kimia santan kelapa yang diekstraksi dengan tanpa penambahan air terdiri atas
protein 2.6-4.4%; lemak 32-40%; air 50-54%; dan abu 1-1.5%.
2.5.4. Bahan Acuan
Semua metode instrumental membutuhkan bahan acuan, sekalipun untuk metode yang
mengukur analat yang empiris. Analat yang empiris adalah analat yang nilainya tidak seperti
senyawa kimia yang stoikiometris yang bersifat tetap. Analat empiris merupakan hasil dari
penerapan prosedur yang biasa digunakan untuk mengukurnya, contohnya untuk kadar air, kadar
abu, kadar lemak, kadar karbohidrat (by difference) dan kadar serat (AOAC 2002).
Bahan acuan memainkan peranan penting untuk mengetahui akurasi dalam melakukan
validasi. Bahan acuan disini dapat diartikan sebagai bahan atau zat yang memiliki sifat-sifat
tertentu yang cukup homogen dan stabil, yang telah ditetapkan untuk dapat digunakan dalam
pengukuran atau dalam pengujian suatu contoh. Bahan acuan dapat digunakan untuk mengontrol
presisi pengukuran walaupun bahan acuan tersebut tidak memiliki nilai acuan (assigned value),
sedangkan untuk kalibrasi atau untuk mengontrol kebenaran pengukuran hanya bahan acuan yang
memiliki nilai acuan yang dapat digunakan (Dara 2010). Kalibrasi dan pengontrolan analisis
sangat penting, karena menyangkut kehandalan hasil pengujian. Untuk pengambilan keputusan
yang krusial diperlukan hasil pengujian yang dapat dipercaya (Nuryatini 2010). Bahan acuan ini
dapat diperoleh dari berbagai produsen bahan acuan seperti Puslit Kimia LIPI yang telah
mengembangkan beberapa bahan acuan (in-house reference materials) khususnya untuk pengujian
dalam bidang lingkungan dan pangan (Dara 2010).
Bahan acuan dapat dibagi menjadi dua yaitu Certified Reference Material (CRM) dan
Standard Reference Material (SRM). CRM dapat ditelusur hingga standard internasional dengan
ketidakpastian yang telah diketahui dan oleh karena itu dapat digunakan untuk mengukur semua
aspek bias (bias metode, bias antarlab, and intralab) secara bersamaan, dengan asumsi bahwa tidak
ada ketidaksesuaian matriks. Perlu dipastikan bahwa nilai ketidakpastian yang dimiliki cukup kecil
sehingga dapat mendeteksi bias pada kisaran tertentu. Tetapi jika nilainya tidak cukup kecil,
20
penggunaan CRM masih dianjurkan, tetapi dengan disertai dengan pengujian tambahan. Jika
diperlukan dan dapat dilakukan, sejumlah CRM yang sesuai dengan matriks dan konsentrasi analit
sebaiknya diujikan (Thompson et al 2002).
SRM dapat digunakan jika tidak ada CRM. SRM adalah material yang telah
dikarakterisasi dengan baik untuk tujuan validasi. Hal yang perlu diperhatikan adalah jika nilai
bias tidak signifikan, hal ini bukan berarti merupakan bukti bahwa tidak adanya bias sama sekali.
Akan tetap jika terdapat bias yang signifikan, hal ini menandakan perlunya investigasi lebih lanjut.
SRM dapat berupa material yang telah dikarakterisasi oleh produsen CRM tetapi tidak dilengkapi
dengan dokumen mengenai nilai ketidakpastiannya atau material yang telah terkualifikasi oleh
sebuah manufakturer; materials yang dikarakterisasi dalam lab sebagai reference material; dan
material yang didistribusikan dalam proficiency test. Meskipun ketertelusuran dari material
tersebut dipertanyakan, jauh lebih baik untuk menggunakan material tersebut dibandingkan tidak
melakukan pengukuran terhadap bias sama sekali. Material dapat digunakan dengan cara yang
sama seperti CRM, sekalipun tidak ada nilai ketidakpastian yang tercantum, seluruh pengujian
yang signifikan bergantung seluruhnya pada presisi yang dapat diamati dari hasil (Thompson et al
2002).

nuphalinopzis. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

please select your language.

just share anything.., :)

Web Hosting

who views me..,